Sangat sulit
dibayangkan keadaan untuk menghitung baik-buruk, enak-ora enak, cukup-ora cukup
ketika kita dipaksakan merantau.
Masih
teringat dulu ketika masih kecil yang masih berkutat di sawah playon dolanan layangan dan sesekali setiap minggu pagi melihat kartun
dari jam setengah tujuh pagi hingga dua belas siang. Ya walaupun sering kali misuh-misuh saat ada siaran tinju. Bukan
karena saya pembenci tinju tetapi ya mbok
ngerteni nek kui jam e cah sekolah butuh hiburan yang setiap harinya enam
hari dalam seminggu harus duduk rapi di kelas walaupun jam 11 san sudah ngantuk
dan beberapa yang ngeces. Saya tinggal
di Kabupaten Wonogiri yang dulu mikir paling keren. Iya paling keren, tidak ada
nama sekeren “ wonogiri ” di kalangan kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Dulu memang
rasa nasionalisme saya kepada tanah tumpah darah saya yang disebut Wonogiri
memang luar biasa.
Tapi
ada hal yang membuat kecewa dari Wonogiri adalah saya itu tinggal di kecamatan
Baturetno. Kalau dilihat dari silsilah keluarga dan keturunan, harusnya saya di
wonogiri kota. Mungkin karena aya-ibu saya yang bertugas di Baturetno. Disana
itu memanag terkenal hardcore dalam
kehidupan sehari-harinya. Lampu bangjo yang itu disebut rambu jalan lintas provinsi
antara Jawa Tengah (wonogiri) dan Jawa Timur (pacitan) tidak pernah jelas
menjelaskan tupoksinya. Kalau mau jalan pas lampunya merah ya monggo, dan yang parah mereka mau menang
sendiri walaupun di-bel orang lain, mlaku
sak penak e udel e dewe. Tapi apapun itu, yang pasti saya pernah bangga
kepada Baturetno karena mengantar saya sebagai jawara PS 2 (read: Winning Eleven ) kala itu ketika saya
sekolah SMP.
Kali pertama saya pergi
dari rumah adalah SMA, ketika itu entah apa yang saya pikirkan ketika men-iya-kan
tawaran bapak untuk sekolah di Solo. Ada rasa wedhi, males, dan pastinya mikir bagaimana kelanjutan hubungan
percintaan saya pas waktu SMP, labil. Tapi
di sisi yang lain saya punya cita-cita untuk antimainstrim. Ya walaupun cinta monyet tapi itu momen yang membuat
saya merasa sebagai lelaki yang sesungguhnya. Waktu yang sangat susah
dijelaskan dengan kata-kata, keadaan yang diluar nalar saya ketika saya masuk
SMA MTA Surakara. Durung pernah urip adoh
wong tuo dan akhirnya dihadapkan pada keadaan harus mandiri serta hidup di
asrama yang tempat berkumpul bandit-bandit seluruh Indonesia. Hidup yang
memaksa saya untuk menerima nasib dan sempat berada di titik nadir karena susah
adaptasi. Tapi semua sirna pas kelas sudah di tingkat ke dua, rasanya seperti
biasa saja dan saya mulai paham bagaimana jadi Kancil. Hidup dengan 2 sisi kepribadian, kadang baik kadang buruk. Ini
setelah saya pikir-pikir lagi memang karena keadaan dulu harus begitu,
kadang-kadang alim dan kadang masuk lingkungan bandit-bandit seluruh Indonesia.
Lingkungan
asrama saya memang beda dengan gemerlapnya kota Solo yang saya pikirkan ketika
masih kecil. Kumuh dan banyak orang bertato disana, ya walaupun sekarang biasa
tapi karena memang dulu kalau lihat orang bertato mikirnya jelek. Ada suatu
waktu saya beli sayur rica-rica ayam ketika pulang sekolah di salah satu warung
dekat asrama. Sekolah saya dan asrama memang lumayan jauh, kalau jalan kaki
sekitar 10 menit. Saat itu ibunya yang jual sembari nyiduk rica-rica ayam dari dandang juga lagi ngobrol dengan ibu-ibu
yang kayaknya juga beli.
“ saiki mundak bu rego
lemah neng kene, semeter tekan 500 ribu “
Pada
saat itu saya kaget dan mulai berfikir sejenak. Ini harga yang menurut saya
mahal dan memang sebagai anak yang masih awam uang sebesar itu, merasa sangat
susah kayaknya mencari uang sebesar itu. Ini menuntuk saya untuk berfikir
tentang seberapa keren suatu kota memang dituntut ada uang yang harus dikeluarkan
orang-orang yang berteduh dan terlelap di sana.
Mulai
kuliah pikiran itu terus saja kadang saya pikirkan. Hal yang mulai saya
bayangkan akan terjadi di hidup saya adalah ketika saya mulai berkeluarga dan
terpaksa untuk meninggalkan rumah orang tua dan tahu juga keadaan yang akan
saya alami ketika berbicara dengan tetangga atau teman tentang masalah-masalah
sehari-hari yang berkaitan dengan uang. Kota Solo adalah salah satu pusat
ekonomi di sekitar kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Dari Wonogiri, Sukoharjo,
Klaten Karanganyar, dan Sragen. Sangat mudah dibayangkan kalau ada orang di
kabupaten itu ke Solo pasti ya nggumun, seperti
saya. Tetapi ada hal yang menurut saya kontras dari Wonogiri apabila
dibandingkan dengan Kabuapten-Kabupaten yang lain. Wonogiri tidak ada batasan
wilayahnya yang langsung berhadapan dengan Solo, jadi bisa dibayangkann betapa
jauhnya Wonogiri dari peradaban kota Solo.
Banyak
saya temui orang-orang yang berasal dari luar Solo dan menetap di Solo sebagai
pendatang, anak kos, kerja buruh, atau memang ditempatkan kerja oleh salah satu
instansi. Secara data sensus penduduk Solo memang masih didominasi oleh
orang-orang asli Solo yang tinggal disana tetapi secara konsekwen penduduk
pendatang yang di Solo sebagai orang yang “tidak mempunyai” rumah juga semakin
banyak. Ini akan menjadi yang lumrah ketika banyak yang orang desa beranggapan kalau
pergi ke kota memang untuk kerja, bukan untuk mencari kehidupan selanjutnya.
Sebagai salah satu kota dengan pusat ekonomi di Indonesia, Solo memang sudah
kodratnya akan menjadi kota dengan himpitan ekonomi yang semakin pelik
dikemudian hari. Mereka yang merantau ke kota memang terhindar dari nyinyiran tetangga desa tentang konsep
pengangguran, tetapi ketika ke kota bekerja mamang akan sebatas bekerja, dan
susah mencari kehidupan tetap karena perbedaan harga yang kentara.
Saya
pernah bertemu dengan teman dari Jakarta ketika kuliah di Solo. Dia bercerita
bahwa orang tuanya berasal dari suku Batak. Setiap orang Batak sesuai ceritanya
harus membawa satu sanak famili ketika
berada di kota. Tujuannya jelas untuk membantu agar mendapatkkan kerja dan
kehidupan berbeda. Dan yang menarik dari cerita teman saya itu, setiap sanak famili yang diajak ke kota harus
diperjuangkan sampai mendapatkan pekerjaan dan rumah. Sungguh hal yang rancu
secara pola pikir, tetapi itu fakta yang terjadi di sana. saya mulai berfikir
ketika ayah teman saya itu pertama kali ke Jakarta betapa “agak” mudahnya
dibanding orang-orang yang juga merantau dan hanya sekedar bekerja walaupun ada
kenalan disana.
Sungguh mulia orang-orang yang memutuskan merantau, sangat sulit ditakar dengan akal sehat kapan akan "berhasil".
Sungguh mulia orang-orang yang memutuskan merantau, sangat sulit ditakar dengan akal sehat kapan akan "berhasil".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar