Sabtu, 24 September 2016

Merambah Detik Waktu Mananjaki Nasib

Sangat sulit dibayangkan keadaan untuk menghitung baik-buruk, enak-ora enak, cukup-ora cukup  ketika kita dipaksakan merantau.
Masih teringat dulu ketika masih kecil yang masih berkutat di sawah playon dolanan layangan dan sesekali setiap minggu pagi melihat kartun dari jam setengah tujuh pagi hingga dua belas siang. Ya walaupun sering kali misuh-misuh saat ada siaran tinju. Bukan karena saya pembenci tinju tetapi ya mbok ngerteni nek kui jam e cah sekolah butuh hiburan yang setiap harinya enam hari dalam seminggu harus duduk rapi di kelas walaupun jam 11 san sudah ngantuk dan beberapa yang ngeces. Saya tinggal di Kabupaten Wonogiri yang dulu mikir paling keren. Iya paling keren, tidak ada nama sekeren “ wonogiri ” di kalangan kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Dulu memang rasa nasionalisme saya kepada tanah tumpah darah saya yang disebut Wonogiri memang luar biasa.
Tapi ada hal yang membuat kecewa dari Wonogiri adalah saya itu tinggal di kecamatan Baturetno. Kalau dilihat dari silsilah keluarga dan keturunan, harusnya saya di wonogiri kota. Mungkin karena aya-ibu saya yang bertugas di Baturetno. Disana itu memanag terkenal hardcore dalam kehidupan sehari-harinya. Lampu bangjo  yang itu disebut rambu jalan lintas provinsi antara Jawa Tengah (wonogiri) dan Jawa Timur (pacitan) tidak pernah jelas menjelaskan tupoksinya. Kalau mau jalan pas lampunya merah ya monggo, dan yang parah mereka mau menang sendiri walaupun di-bel orang lain, mlaku sak penak e udel e dewe­. Tapi apapun itu, yang pasti saya pernah bangga kepada Baturetno karena mengantar saya sebagai jawara PS 2 (read: Winning Eleven ) kala itu ketika saya sekolah SMP.
 Kali pertama saya pergi dari rumah adalah SMA, ketika itu entah apa yang saya pikirkan ketika men-iya-kan tawaran bapak untuk sekolah di Solo. Ada rasa wedhi, males, dan pastinya mikir bagaimana kelanjutan hubungan percintaan saya pas waktu SMP, labil. Tapi di sisi yang lain saya punya cita-cita untuk antimainstrim. Ya walaupun cinta monyet tapi itu momen yang membuat saya merasa sebagai lelaki yang sesungguhnya. Waktu yang sangat susah dijelaskan dengan kata-kata, keadaan yang diluar nalar saya ketika saya masuk SMA MTA Surakara. Durung pernah urip adoh wong tuo dan akhirnya dihadapkan pada keadaan harus mandiri serta hidup di asrama yang tempat berkumpul bandit-bandit seluruh Indonesia. Hidup yang memaksa saya untuk menerima nasib dan sempat berada di titik nadir karena susah adaptasi. Tapi semua sirna pas kelas sudah di tingkat ke dua, rasanya seperti biasa saja dan saya mulai paham bagaimana jadi Kancil. Hidup dengan 2 sisi kepribadian, kadang baik kadang buruk. Ini setelah saya pikir-pikir lagi memang karena keadaan dulu harus begitu, kadang-kadang alim dan kadang masuk lingkungan bandit-bandit seluruh Indonesia.
Lingkungan asrama saya memang beda dengan gemerlapnya kota Solo yang saya pikirkan ketika masih kecil. Kumuh dan banyak orang bertato disana, ya walaupun sekarang biasa tapi karena memang dulu kalau lihat orang bertato mikirnya jelek. Ada suatu waktu saya beli sayur rica-rica ayam ketika pulang sekolah di salah satu warung dekat asrama. Sekolah saya dan asrama memang lumayan jauh, kalau jalan kaki sekitar 10 menit. Saat itu ibunya yang jual sembari nyiduk rica-rica ayam dari dandang juga lagi ngobrol dengan ibu-ibu yang kayaknya juga beli.
“ saiki mundak bu rego lemah neng kene, semeter tekan 500 ribu “
Pada saat itu saya kaget dan mulai berfikir sejenak. Ini harga yang menurut saya mahal dan memang sebagai anak yang masih awam uang sebesar itu, merasa sangat susah kayaknya mencari uang sebesar itu. Ini menuntuk saya untuk berfikir tentang seberapa keren suatu kota memang dituntut ada uang yang harus dikeluarkan orang-orang yang berteduh dan terlelap di sana.
Mulai kuliah pikiran itu terus saja kadang saya pikirkan. Hal yang mulai saya bayangkan akan terjadi di hidup saya adalah ketika saya mulai berkeluarga dan terpaksa untuk meninggalkan rumah orang tua dan tahu juga keadaan yang akan saya alami ketika berbicara dengan tetangga atau teman tentang masalah-masalah sehari-hari yang berkaitan dengan uang. Kota Solo adalah salah satu pusat ekonomi di sekitar kabupaten-kabupaten di sekitarnya. Dari Wonogiri, Sukoharjo, Klaten Karanganyar, dan Sragen. Sangat mudah dibayangkan kalau ada orang di kabupaten itu ke Solo pasti ya nggumun, seperti saya. Tetapi ada hal yang menurut saya kontras dari Wonogiri apabila dibandingkan dengan Kabuapten-Kabupaten yang lain. Wonogiri tidak ada batasan wilayahnya yang langsung berhadapan dengan Solo, jadi bisa dibayangkann betapa jauhnya Wonogiri dari peradaban kota Solo.
Banyak saya temui orang-orang yang berasal dari luar Solo dan menetap di Solo sebagai pendatang, anak kos, kerja buruh, atau memang ditempatkan kerja oleh salah satu instansi. Secara data sensus penduduk Solo memang masih didominasi oleh orang-orang asli Solo yang tinggal disana tetapi secara konsekwen penduduk pendatang yang di Solo sebagai orang yang “tidak mempunyai” rumah juga semakin banyak. Ini akan menjadi yang lumrah ketika banyak yang orang desa beranggapan kalau pergi ke kota memang untuk kerja, bukan untuk mencari kehidupan selanjutnya. Sebagai salah satu kota dengan pusat ekonomi di Indonesia, Solo memang sudah kodratnya akan menjadi kota dengan himpitan ekonomi yang semakin pelik dikemudian hari. Mereka yang merantau ke kota memang terhindar dari nyinyiran tetangga desa tentang konsep pengangguran, tetapi ketika ke kota bekerja mamang akan sebatas bekerja, dan susah mencari kehidupan tetap karena perbedaan harga yang kentara.
Saya pernah bertemu dengan teman dari Jakarta ketika kuliah di Solo. Dia bercerita bahwa orang tuanya berasal dari suku Batak. Setiap orang Batak sesuai ceritanya harus membawa satu sanak famili ketika berada di kota. Tujuannya jelas untuk membantu agar mendapatkkan kerja dan kehidupan berbeda. Dan yang menarik dari cerita teman saya itu, setiap sanak famili yang diajak ke kota harus diperjuangkan sampai mendapatkan pekerjaan dan rumah. Sungguh hal yang rancu secara pola pikir, tetapi itu fakta yang terjadi di sana. saya mulai berfikir ketika ayah teman saya itu pertama kali ke Jakarta betapa “agak” mudahnya dibanding orang-orang yang juga merantau dan hanya sekedar bekerja walaupun ada kenalan disana.  
Sungguh mulia orang-orang yang memutuskan merantau, sangat sulit ditakar dengan akal sehat kapan akan "berhasil". 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar